Rabu, 23 Juli 2008

Kritik Ideologi atas Politisi

Oleh: Jamalludin Rahmat
Sekretaris Eksekutif Magistra Indonesia Padang

Secara etimologi ideologi berasal dari bahasa Belanda, ide, buah pikiran atau gagasan. Jadi ideologi adalah dasar cita-cita dari suatu partai politik, agama dan lain-lain.

Gagasan yang dikejewantahkan dalam bentuk tindakan menuntut pemahaman yang utuh atas kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kelahiran satu ideologi ada latar belakangnya. Ia tidak lahir dalam ruang hampa atau sejarah yang vakum (vacuum of history). Ideologi sosialisme munculnya disebabkan ideologi kapitalisme yang menguasai segala tatanan berakibat buruk bagi manusia. Identitas ideologi kapitalisme pada masa itu dalam ekonomi “mengambil untung dengan sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya”, buruh diwajibkan lembur kerja siang dan malam tapi upah yang diterima tidak sesuai hasilnya dengan tenaga yang dikeluarkan.

Ini menciderai kemanusiaan yang dipahami oleh sosialisme bahwa hasil jerih payah manusia harus dibayar sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Juga,cita-cita sosialisme membebaskan manusia dari rantai ketergantungan, alienasi, dan perbudakan ekonomi (Soedjatmoko, 2004). Tergantikannya tenaga manusia dengan mesin juga mengurangi sisi tawar manusia-buruh ketika berhadapan dengan manusia-majikan, yang berkuasa penuh atas pabrik dimana tempat buruh bekerja.

Ideologi lahir untuk kebaikan manusia pada mulanya. Kapitalisme, Sosialisme, dan lain sebagainya dihadirkan oleh manusia untuk memperbaiki kemanusiaan yang compang-camping bukan untuk menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan menyengsarakannya.
Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya. Ada apa dengan ideologi? Ideologikah yang salah atau manusia yang salah dalam memaknai ideologi dan melaksanakannya?

Telah banyak kritik yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh terhadap ideologi. Salah satu diantaranya adalah Jurgen Habermas. Jurgen Habermas adalah filosof kelahiran Jerman. Seorang tokoh Mazhab Frankfurt, yang sangat kritis terhadap modernitas, saintisme, positivisme dan kapitalismus (kapitalisme lanjut). Selain Mazhab Frankfurt, mereka juga dikenal dengan Teori Kritik Masyarakat, dan Sekolah Frankfurt. Tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt rata-rata terpengaruh oleh Karl Marx. Sejak dari Theodor W. Adorno, Max Horkkheimer, hingga Jurgen Habermas. Filsafat Kritis adalah nama lain dari Kritik Ideologi yang muncul abad 20. Ia merupakan salah satu aliran dalam filsafat di samping fenomenologi dan filsafat analitis. Inspirasi Filsafat Kritis/Kritik Ideologi adalah dari Karl Marx. Sewaktu muda Marx mengembangkan Kritik Ideologi. (F. Budi Hardiman: 2004)

Apa yang dikritik oleh Jurgen Habermas adalah bahwa sejarah intelektual Barat dalam arti tertentu merupakan diskusi, dialog, kontroversi metode-metode refleksi diri sekaligus klaim-klaim kebenaran yang dihasilkan lewat metode-metode tersebut. (Ibrahim Ali Fauzi: 2003 ). Maka Mazhab Frankfurt berupaya merintis sebuah metode refleksi diri yang terus segar sebagai penyingkap kesadaran palsu. Dalam arti ini teori kritis adalah Kritik Ideologi. (Ibid).

Kritik Ideologi inilah yang diperkenalkan oleh Jurgen Habermas disamping teori Komunikasi Masyarakat. Apa itu Kritik Ideologi yang diperkenalkan Jurgen Habermas? Ada apa dengan ideologi saat ini? Dimana posisi manusia atau masyarakat dalam ideologi? Dan lebih penting lagi-menurut penulis-apa relevansi pemikiran Jurgen Habermas dengan kondisi Indonesia saat ini.

Basis kehidupan masyarakat adalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Ekonomi yang merata dan kesejahteraan bagi setiap kelas. Politik yang memperhatikan dan melaksanakan aspirasi masyarakat. Sosial yang merata bagi manusia-desa dan manusia-kota. Budaya yang memajukan akal dan hati manusia demi terwujudnya budaya yang transenden dan humanis. Pendidikan mencerahkan serta dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Hukum yang tegak berdiri (supremasi hukum) dan menerabas siapa yang salah tanpa pandang bulu.

Basis-basis di atas manifestasinya adalah teori pengetahuan dan teori sosial. Pada teori pengetahuan semestinya semakin banyak orang Indonesia yang berpendidikan tinggi dan penemuan yang brilian di berbagai bidang mampulah ia membawa perubahan kesejahteraan bagi masyarakat. Tapi nyatanya tidak, kasus Lumpur lapindo bukti nyata bahwa jelas-jelas masyarakat sengsara tapi kebijakan yang diambil ‘orang pintar’ tidak berpihak pada rakyat dan terkesan lamban. Pada teori sosial, ia merupakan hubungan yang sejajar antara penguasa dan rakyat dalam bentuk pemenuhan hak dan kewajiban. Terwujudnya keadilan sosial adalah keniscayaan. Penguasa ataupun politisi memiliki kepentingan dibalik setiap kebijakan yang diambil dan tidaklah harus mengorbankan kehidupan rakyat.

Tipuan Politisi atas Rakyat

Bagi Habermas politikus dan masyarakat modern, bergerak didasarkan atas dua tindakan strategis. Pertama, tindakan stratetgis yang berbentuk penipuan sadar (manipulasi). Kedua, tindakan strategis yang berbentuk penipuan tak sadar (ideologi). (Ibid)

Penipuan sadar (manipulasi) siapapun akan mengetahui bentuknya seperti apa, yang jadi soal adalah penipuan tak sadar (ideologi) yang dilakukan oleh politisi dan penguasa saat ini. Kenaikan BBM bukan hanya persoalan minyak mentah dunia yang naik secara drastis tapi segudang persoalan yang ditutupi dari rakyat. Jika tidak kenapa muncul saat ini keinginan untuk membentuk panitia angket BBM yang dilakukan oleh anggota DPR-RI setelah ia menjadi sebuah kebijakan pemerintah yang meluas dan menyengsarakan rakyat. Ada apa ini? Bukankah penipuan secara tak sadar sedang dimainkan oleh anggota dewan/politisi kepada rakyat dalam menyambut pemilu 2009.

Dengan menghembuskan manipulasi (penipuan sadar) dan ideologi (penipuan tak sadar) yang disuntikkan ke masyarakat, partai dan para politisi telah menjelma menjadi kekuatan politik yang mengambil keuntungan dari rakyat. Rakyat menjadi lapisan yang ditundukkan oleh slogan dan janji politisi tiap menjelang pemilu didongkrak menjadi kenyataan yang seolah dapat dibuktikan.

Banyaknya jumlah partai tak dapat menyejahterakan rakyat dan tidak makin mendekatkan rakyat pada sumber atau pusat kekuasaan. Politisi pada kenyataanya telah gagal menjalankan peran yang musti diembannya yaitu memahami kebutuhan, kehendak dan melaksanakan apa yang diinginkan oleh konstituennya. Serta gaya kehidupan politisi kini berbeda jauh dengan politisi tempo dulu yang memiliki gaya hidup sederhana dan politisi kini tidak mempunyai kerangka konseptual yang jelas tentang perubahan sosial.

Bahkan lebih jauh dikemukakan oleh Eko Prasetyo, politisi menjadi profesi persis seperti pegawai Bank atau seorang dokter. Melihat politik bukan dengan standar ukuran nilai-nilai ideal melainkan kepraktisan. Mana yang lebih praktis memahami perubahan, apa dengan melakukan persekutuan melalui modal atau harus menjalankan aliansi taktis dengan para penguasa lama. (Eko Prasetyo, 2005).
Akhir kata, seharusnya tindakan politik yang dilakukan politisi mesti bersifat komunikatif agar terciptanya saling pemahaman yang tidak merugikan berbagai pihak, pemerintah sebagai pelaksana kebijakan, anggota dewan sebagai pembuat kebijakan dan masyarakat ‘korban’ dari kebijakan.