Senin, 09 Juni 2008

KEKERASAN DAN ANOMIE NEGARA



Oleh: Muhammad Sholihin

“..Maka frustasi mereka tumbuh hingga mencapai titik di mana ‘mereka’ menjadi mudah terhasut..” (Gus Dur)





Saat ini, ketidak berdayaan negara kian mengkerut. Kondisi ini mendorong crisis of truth terhadap negara kian mengeruyak. Rata-rata rakyat mulai ragu terhadap kemampuan pemerintah, terutama keraguan terhadap keputusan pemerintah menangapi riak-riak yang terjadi. Kenyataan ini, amat tampak dari gelombang demostrasi terhadap kebijakan pemerintah menaikan BBM. Sementara itu, kekerasan yang dipertotonkan oleh FPI; membuat pemerintah kecolongan.
Tidak tegasnya pemerintah dalam menegakkan, dan mengakui hak sipil Ahmadiyah nyata sebagai bentuk ketidak berdayaan negara dalam mengakui hak-hak kelompok minoritas. Sederhananya, negara dalam menata dan menentukan kebijakan publik, cenderung tertekan oleh ‘mitos mayoritas’. Hingga tidak mengherankan jika kekerasan yang terjadi antara FPI, Lasykar Islam terhadap AKK-BB, merupakan akumulasi dari ketidak berdayaan negara. Apa gerangan yang mendorong negara kian lemah menegaskan otoritasnya sebagai making decision, bahkan tidak mampu berkutik menghadapi dan merespon himpitan, baik himpitan secara battom up (neo-liberalisme), maupun secara battom down (gerakan sempalan).
Beberapa dekade belakangan ini di Indonesia, timbul polemik di ruang publik, terutama dengan mencuatnya persoalan aliran-aliran baru dalam agama, seperti Lia Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, kemudian kasus yang masih aktual ialah Ahmadiyah. Alhasil, polemik ini memicu konflik paradigma yang amat manifes. Dalam kondisi bangsa yang sangat rapuh, di mana kedewasaan dalam merespon perbedaan belum tumbuh subur, dialektika di ruang publik seringkali dihindari dengan sikap absolute oleh berbagai pihak yang bertikai—membuat pemerintah kian gamang dan ragu bersikap “harus membela siapa?”. Praksisnya, kekuatan-kekuatan yang ada di ruang publik, seperti kekuatan Islam radikal, nasionalis—kian bertarung. Ironisnya, pertarungan ini memicu terjadinya radikalisme dalam menanggapi eksistensialis kelompok lain; kekerasan tidak dapat dihindari, karena memang dalam perjalanan bangsa ini sering kali berdiri atas ritus kekerasan. Buktinya, setiap transisi politik sebagai bagian dari pertarungan kepentingan dn ideologis, dan setiap kondisi negara berada pada titik krisis, tak jarang histeria massa larut dalam ritus-ritus kekerasan.
Kita makin miris melihat kekerasan tidak hanya dipicu oleh kepentingan politik yang berbeda, namun bangsa ini semakin teriris-iris ketika kekerasan juga dipicu oleh missunderstanding terhadap dogma agama, seperti kekerasan FPI terhadap aliansi kebangsaan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan pada hari Minggu (1/06) di Monas beberapa hari yang lalu. Sesungguhnya, kekerasan yang dilakukan atas AKK-BB tersebut, secara pasti memberitakan pada khalayak betapa negara gagal dan tampak lemah melakukan konsolidasi ideologis berwawasan kebangsaan sebagai upaya menetralisir kekuatan-kekuatan ultrapuritanisme, yang eksistensi mereka akan mengoyahkan jalinan kebangsaan sebagai konsesus kolektif rakyat Indonesia.
Dalam keadaan krisis, baik krisis struktural berupa ekonomi, politik, maupun krisis kultural, seperti krisis ke-agamaan—negara cenderung berada dalam kondisi anomie. Ketika negara berada dalam keadaan anomie, maka krisis akan berpotensi muncul diberbagai titik. Hingga akan mendorong ketidak jelasan orientasi keberpihakan negara. Siklusnya, ada beberapa persoalan penting yang kadang tidak mampu dijawab oleh negara. Sederhananya, muncul berbagai ketimpangan dalam tipikal kebijakan publik yang diputuskan oleh negara. Dengan sendirinya ketimpangan ini mendorong gelombang ketidak puasan terhadap fungsi negara. Hingga massa akan cenderung mengekspresikan ketidak puasan ini dengan style yang kadang terkesan radikal, agresif. Seperti apa yang dilakukan oleh FPI, dan Lasykar Pembela Islam terhadap AKK-BB, tugas negara seolah-olah dirampok oleh gerombolan ini. Lantas, terjun bebas menghakimi eksistensialis Ahmadiyah, yang mereka nilai sebagai sekte sesat. Karena memang diakui oleh FPI, dan Lasykar Pembela Islam penyerangan itu dipicu oleh praduga AKK-BB melindungi Ahmadiyah dalam bungkus gerakan kebangsaan dan kebebasan beragama.
Kini, negara tidak lagi mendapatkan input yang cukup untuk melintasi anomie politik. Buktinya, gerakan-gerakan sempalan, seperti FPI—tampak kian mengusik bahkan merampok fungsi negara dalam menetralisir konflik sosial. Sistem politik (negara) membutuhkan pasokan (input) berupa kesetian massa seluas mungkin, kata Jurgen Habermas. Namun dengan keliaran gerakan sempalan, seperti FPI—mengisyaratkan bahwa pasokan kesetiaan massa terhadap negara kian tergerus, dan terkotak-kotak berdasarkan polarisasi ideologis. Pada titik ini, krisis legitimasi terhadap pemerintah semangkin jelas, dan mencuat. Mungkin hanya menunggu waktu kapan krisis ini akan meledak. Walaupun intensi ledakan krisis legitimasi ini mungkin tidak berbuntut pada jatuhnya SBY-JK, namun krisis ini akan membuat pemerintah akan selalu berada pada titik nadir dan pada kondisi yang semangkin lemah. Jika pemerintah tidak jeli, apa yang diugkapkan Jurgen Habermas bahwa krisis legitimasi akan mampu memporak-perandakan aparatus negara, berupa penarikan kesetian secara massif, kemudian dengan liarnya massa akan bergerak dan bertindak berdasarkan insting anarki tanpa aturan. Akhirnya, negara pun akan kehabisan energi mengurusi persoalan parsial, dan memingirkan persoalan fundamental. Pada kondisi inilah krisis merayap secara rhizomatik. Ujungnya, bangsa akan semangkin rapuh dan berkubang dengan krisis yang membahayakan kehidupan ber-negara.

Kekerasan; Modus Untuk Bertahan

Ternyata untuk tegaknya demokrasi di Indonesia ritual kekerasan menjadi ‘panorama’ yang seolah-olah integratif dengan demokrasi kita. Kenyataannya, dalam mendorong demokratisasi di bangsa ini, kekerasan hadir sebagai pemerkuat sinyal-sinyal demokrasi. Paling tidak kekerasan menjadi noda dari proses kelahiran demokrasi di negeri ini. Karena satu sisi kekerasan akan memperkuat preference masyarakat terhadap pentingnya penghayatan nilai-nilai demokrasi. Sederhananya, kekerasan adalah cermin betapa hidup dalam nilai-nilai pagan tidak lah indah. Hingga secara alamiah, orang akan berpacu bagaimana mendorong artikulasi demokrasi dalam lintasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami tipikal kekerasan yang melabrak Indonesia akhir-akhir ini, terutama kekerasan yang muncul seiring merebaknya aliran-aliran baru dalam Islam di Indonesia—agaknya perlu mengidentifikasi motif kekerasan tersebut. Dalam umurnya yang paling kolosal, antara satu kekerasan dengan kekerasan yang lain memiliki tingkat deferensi. Sesungguhnya, kompleksitas kekerasan berhubungan erat dengan motif yang mendorong munculnya kekerasan itu.
Tidak ada satu bangsa pun di muka bumi yang tidak pernah melalui fase-fase yang mencekam, fase di mana kekerasan menjadi modus operandi terhadap perubahan bangsa tersebut. Termasuk Amerika Serikat, yang dikenal sebagai inspirasi bagi demokrasi di dunia. Dalam penegakkan demokrasi di Amerika Serikat, kekerasan bahkan dengan biadabnya menjadi sejarah di beberapa tempat di Amerika Serikat. Kini memori terhadap kekerasan tersebut dirayakan oleh Hollywood melalui The Gang Of New York. Sementara itu, dalam bentuk yang paling kotemporer, ritualitas kekerasan sering digunakan oleh Amerika Serikat dalam mengekspor demokrasi ke belahan negara lainnya, invasi Amerika Serikat terhadap Irak menjadi signifier betapa kekerasan menjadi modus tersendiri dalam membangun sebuah tatanan yang berdasarkan imajinasi elit Amerika Serikat (imagine of elite).
Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah, Al-Qiyadah Islamiyah prinsipnya amat berbeda dengan kekerasan yang merebak ketika dawai reformasi dipetik pada tahun 1998. Kekerasan terhadap Ahmadiyah, dan kekerasan terhadap AKK-BB beberapa hari yang lalu, Minggu (1/06) merupakan kekerasan lokal atau tradisional. Modus dari kekerasan ini ialah melawan dan bersipat defensif terhadap ancaman yang datang dari luar, dan dalam keyakinan Ormas, seperti FPI—sekte sesat-- jika dibiarkan akan menodai kesucian komunitas dan primodialitas (Islam). Dalam konteks ini, Adam Smith mengariskan teorema survival of the fittes. Di mana dalam kondisi yang paling alamiah, manusia akan melakukan kekerasan jika kebutuhan terhadap kebudayaan dan lingkungan mereka terancam oleh musuh yang telah diidentifikasi lebih awal. Sesuai dengan konteks ini, kekerasan yang sering dipertontonkan oleh gerombolan agama akhir-akhir ini nyaris dapat diartikan sebagai kekerasan lokal yang motifnya menjaga orisinilitas agama Islam, walaupun sebenarnya orisinilitas agama saat ini adalah hal yang sama sekali sesuatu yang dipersepsi. Namun ritus kekerasan tampak tidak dapat dipisahkan dalam menjaga teritorial kesucian agama yang mereka pahami secara absolute.
Dalam kondisi menguatnya mono-identitas keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, sementara negara malah berada dalam kondisi anomie. Maka penegasan konsolidasi ideologis oleh negara perlu segara dilakukan, agar hak-hak sipil kelompok minoritas tidak mudah dijarah oleh kelompok yang bertindak liar tanpa aturan dan hanya bertindak berdasarkan insting primodialitas sempit semata. Sederhananya, gerakan demokrasi di Indonesia jangan sampai dinodai oleh kekerasan. Bagaimanapun, kekerasan hanya menyisakan piramida korban dan lingkaran kesumat yang tiada berujung. Justru itu, demokrasi yang sesungguhnya adalah upaya menjaga kemaslahatan manusia tanpa kecuali■

Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Nagari Institute
Dan juga bergiat di Magistra Indonesia

Sejarah: Komoditas Elit


Oleh : Muhammad Nasir

Kegagalan reformasi, lemahnya (pemimpin) negara, resesi ekonomi, eskalasi kekerasan dan kerusuhan, berjubelnya partai politik, korupsi, pengangguran merupakan sejumlah daftar saja dari kompleksitas permasalahan Indonesia menjelang perhelatan politik Pemilu 2009.

Berbagai peristiwa tersebut saling berkaitan dan diperlukan suatu pemaknaan khusus sebelum dicatat sebagai sebuah peristiwa sejarah. Tanpa pemaknaan dan pemahaman yang benar, peristiwa-peristiwa itu hanyalah catatan-catatan mati yang berstatus silam belaka.

Dengan menaruh sedikit kecurigaan, adakah beberapa peristiwa tersebut di atas sengaja direkayasa sebagai prakondisi menjelang 2009? Siapakah tangan-tangan ajaib dibalik peristiwa tersebut?

Rekayasa antagonistik

Sesungguhnya, bangsa Indonesia di era reformasi sedang berusaha melanjutkan sejarahnya. Biarlah pada masa Orde Baru dianggap sebagai periode kelam (politik), tetapi harapan di era reformasi adalah bagaimana menjadikan periode kelam itu sebagai periode yang terang benderang (mencerahkan) dan menyejahterakan.

Merujuk beberapa peristiwa yang disebut di atas, sepertinya ada kesan kegagalan bangsa Indonesia menjadikan reformasi sebagai semangat perubahan ke arah yang lebih baik (change into progress). Persyaratan yang prinsip dalam sejarah sebagai bentuk perkembangan kehidupan kemanusiaan adalah bagaimana tingkat keseriusan melanjutkan hidup ke arah yang lebih baik (continuity) dan bagaimana perubahan itu menjadi suatu yang diciptakan secara serius pula. Dan ini telah gagal dilakukan.

Bagaimanapun negara adalah produk rekayasa sosial. Bagaimana determinasi seluruh warga masyarakat telah mendorong penduduk nusantara membuat negara bangsa (nation state) bernama Indonesia. Begitu juga persolana bagaimana negara ini dijalankan, juga tidak lepas dari determinasi seluruh warga negara. Dengan demikian, sebenarnya, sejarah negara Indonesia adalah sejarah warga (civic history).

Berdasarkan paradigma di atas, sudah waktunya peran tokoh elit dikurangi dalam menentukan sejarah Indonesia. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat barisan warga sebagai pemilik sah sejarah bangsa.

Beberapa peristiwa di atas, jika diduga sebagai rekayasa atau di bawah kendali tangan-tangan elit politik, maka itu sesungguhnya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Peristiwa-peristiwa jelek tersebut tidak lebih sebagai rekayasa antagonistik elit-elit politik.

Lemahnya Masyarakat Warga

Setiap orang di Indonesia adalah warga dari masyarakat (komunitasnya) masing-masing. Dalam masyarakat dan komunitasnya itu, setiap orang dapat hidup dan berinteraksi dengan cara-cara yang diatur oleh komunitasnya sesuai dengan semangat komunitasnya.
Masyarakat atau komunitas itu bisa berupa ikatan keluarga, agama, organisasi keagamaan, suku, wilayah adat, profesi dan sebagainya. Semua ikatan itu dalam ranah yang lebih luas –terutama bila sudah menegara- mesti tunduk kepada tata tertib pergaulan bernegara.

Tetapi dalam suasana amburadulnya tata tertib hidup bernegara terutama tidak inklusifnya dan universalnya tata tertib, negara cendrung berlepas tangan. Suasana amburadul itu justru disikapi dengan sikap saling tuding antar penyelenggara negara. Tidak jarang suasana amburadul itu dijadikan komoditas politik untuk saling serang dan menyalahkan.

Bentuk amburadulnya tata tertib itu antara lain benturan horizontal antar komunitas warga semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), di Silang Monas 1 Juni 2008 yang lalu. Sudahlah amburadul, tiba-tiba santer terdengar benturan antar massa komunitas itu direkayasa oleh kekuatan tertentu.

Jika itu benar, semestinya itu pelajaran untuk warga komunitas untuk berhati-hati dan memperkuat diri. Upaya untuk memperbenturkan komunitas itu sepertinya akan terus berlangsung menjelang terselenggaranya Pemilu 2009.

Berbagai isu dikemas, isu keagamaan, kebangsaan, kesenjangan sosial dan sebagainya merupakan komoditas yang “sexy” dan rentan konflik. Justru rentan konflik itulah ia digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Misalnya, Tragedi Monas Kelabu yang lalu telah dianggap sebagai ‘test case’ pertarungan ideologi jelang Pemilu 2009. Utama kelompok pendukung Islamisme versus pendukung Nasionalisme. Berbagai komentar yang muncul pascatragedi itu dapat membantu ‘aktor intelektual’-nya memetakan kekuatan.

Memang ada persoalan yang lebih nyata di balik peristiwa itu, yaitu pembubaran Ahmadiyah sebagai kepentingan ‘umat Islam’ dan kenaikan harga BBM sebagai kepentingan rakyat. Jika menilai itu sebagai pengalihan isu, maka status tragedi Monas adalah sangat rendah sekaligus berpotensi konflik besar, dan targedi Monas hanyalah isu yang melintas (cross cutting Issues) jika tidak ingin disebut sebagai ekses.

Tetapi yang jelas, tragedi tersebut telah menunjukkan betapa lemahnya warga masyarakat atau komunitas sehingga begitu mudah dibenturkan. Apalagi diiringi lemahnya kewaspadaan, bahwa mereka merupakan komoditas bagi pihak lain yang berkepentingan.

Sejarah Elit

Berbagai tafsir yang muncul tentang tragedi Monas antara lain, diskursus pembubaran Ahmadiyah, pengalihan isu kenaikan harga BBM, konflik internal umat Islam, dilema kebangsaan (nasionalisme) dan testcase Pemilu 2009 merupakan bentuk ‘berguna’-nya peristiwa itu bagi aktor-aktor yang tidak bertanggungjawab.

Kelemahan warga komunitas ini pada akhirnya memberikan peluang kepada orang-orang tertentu untuk mengukir sejarah. Sejarah sebagai determinasi antar komunitas akhirnya berubah menjadi sejarah para elit. Tetapi sejarah seperti ini tidak dapat disebut sebagai sejarah, karena perubahan yang terjadi tidak membawa kepada kemajuan.
Bangsa ini tentu tidak ingin sejarahnya semata-mata digerakkan oleh elit yang menghasilkan sejarah elit. Kemungkinannya dua saja; pertama, elit yang benar dan membawa kepada kemajuan, kedua, elit yang tangannya berlumuran darah.
Minggu, 08 Juni 2008